"huh, adik, kau ini terlalu manis tau! kau harus mengurangi ke-manis-anmu itu sebelum berjatuhan lebih banyak korban.." kakak itu tersenyum sesaat setelah aku bercerita berbagai keluh kesah yang menimpa tentang.. ng.. err.. maaf, aku agak grogi ketika ingin menyatakan 'label' keluh kesahku ini. aku rasa kalian sudah bisa menebak. love story? entahlah.
bahkan sejak masih sekolah dasar dulu, sudah mulai muncul masalah ini. untungnya, waktu itu aku masih belum mengenal tentang cinta, hihi, aku cuek saja, tetapi masalah ini ternyata tidak semudah bersikap cuek saja seperti waktuku masih kecil dulu. huft. waktu berjalan terus, aku telah tumbuh menjadi seorang remaja dan alhamdulillah jika bukan karena karunia Allah, mungkin aku kini tak bisa mengelola perasaan-perasaan itu dengan baik dan cool. berkat pengajaran dan bimbingan dari kakak-kakak yang amat luar biasa selama ini, yang tak kenal lelah dan sabar membina dan mengajarkanku banyak ilmu agama, ilmu kehidupan, kemana arah yang tepat seharusnya kutempuh, apa tujuan hidupku? dan tentu saja selalu siap menjadi tempat berbagi suka dan duka, apalagi tentang masalah ini.
"lalu aku harus bagaimana? bagaimana mengurangi ke-manis-an ku ini?" kami berdua tertawa.
"dinda sayang, akan datang saat yang tepat untuk bisa melampiaskan semua sisi cantikmu kepada seseorang yang spesial, seseorang yang begitu menghormatimu, pangeran yang akan menggantikan posisi orang tuamu sebagai yang paling bertanggungjawab atas dirimu. tahukah kau? dia akan selalu menemukan cara agar bisa mengenalimu lebih dekat tanpa kau ketahui dengan begitu elegan, seseorang yang menyayangimu akan berpikir tentang masa depanmu, keluargamu. bersikaplah tegas. sikapmu itu akan 'menyaring' mereka yang mendekatimu, sehingga yang tersisa hanyalah yang benar-benar mencintaimu dengan hati." kakak itu kembali tersenyum dan menatapku begitu syahdu.
"makasih kak, sekarang aku mengerti, tapi aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri agar tidak terlihat terlalu manis lagi.." aku tersenyum. senyum yang aneh, lalu tawa itu kembali meledak. tawa kami bersama, tawa yang penuh makna dan hikmah.
"aku tahu, semua butuh proses adik, berlatihlah, nanti juga terbiasa..bersabarlah, karena buah dari kesabaran itu akan sangat indah hasilnya..."
#percakapan kecil saat senja menjelang#
looking for
Bismillah
kini kita (saya) memasuki babak baru tentang renungan kita (saya) berada disini -dimanapunberada-
apa yang membuat kita (saya) tumbuh sejauh ini? sebesar ini? senakal ini? dan se- se- lainnya?
tentu saja kita (saya) sendiri bingung menjawabnya.sangat bingung.
entahlah, mungkin akhir-akhir ini saya terlalu gila menempatkan diri. terlalu banyak hal yang saya lakukan yang membuat saya menyesal, sesesal-sesalnya. aduh, mengapa? apakah saya masih saya? atau saya bukan saya lagi? saya benar-benar terjebak dalam pikiran yang penuh ketidakpastian dan kebimbangan.
oke, langsung saja, saya seperti ingin pergi.. jauuuuh ke tempat dimana saya bisa sendiri, tidak, maksud saya, hanya saya dan Dia. berdua. dan masih dalam keadaan hidup, di dunia.
saya tidak habis pikir, bahwa saya pernah berpikir untuk tidak diberikan nyawa dan mengenali makhluk-makhluk yang ada di bumi. keanehan pertama yang membuat saya pusing sendiri. oke, saya mengaku, saya cukup labil tiap harinya.
beruntung, dalam keadaan itu, saya masih bisa mengendalikan diri saya untuk bersikap normal dan se-ma-nis mungkin di depan orang-orang yang sangat murah perhatiannya untuk diberikan kepada saya.
Ya Allah,
saya tidak bisa terus-terusan membohongi diri saya, bahwa saya tidak suka ini dan itu. bahwa sabar itu mudah.bahwa menepati janji itu mudah. bahwa menjadi yang diinginkan-Nya itu mudah.
tapi, mengapa? apakah saya terlalu rapuh untuk berucap jujur pada diri sendiri?
namun, satu pemberian yang membuat saya terus bersyukur, ialah bahwa saya diberi kemampuan untuk tersenyum, senyuman yang seakan menggantikan persepsi orang saat melihat mata saya yang begitu sinis. senyum yang mampu menutupi seluruh kegamangan saya. ternyata, saya cukup kuat di tengah kerapuhan.
bisakah saya memilih manusia yang tepat untuk membicarakan ini? doakan yah.. karena hingga saat ini saya belum menemukannya...
saya terlalu takut untuk mengungkapkan semuanya..semuanya
kini kita (saya) memasuki babak baru tentang renungan kita (saya) berada disini -dimanapunberada-
apa yang membuat kita (saya) tumbuh sejauh ini? sebesar ini? senakal ini? dan se- se- lainnya?
tentu saja kita (saya) sendiri bingung menjawabnya.sangat bingung.
entahlah, mungkin akhir-akhir ini saya terlalu gila menempatkan diri. terlalu banyak hal yang saya lakukan yang membuat saya menyesal, sesesal-sesalnya. aduh, mengapa? apakah saya masih saya? atau saya bukan saya lagi? saya benar-benar terjebak dalam pikiran yang penuh ketidakpastian dan kebimbangan.
oke, langsung saja, saya seperti ingin pergi.. jauuuuh ke tempat dimana saya bisa sendiri, tidak, maksud saya, hanya saya dan Dia. berdua. dan masih dalam keadaan hidup, di dunia.
saya tidak habis pikir, bahwa saya pernah berpikir untuk tidak diberikan nyawa dan mengenali makhluk-makhluk yang ada di bumi. keanehan pertama yang membuat saya pusing sendiri. oke, saya mengaku, saya cukup labil tiap harinya.
beruntung, dalam keadaan itu, saya masih bisa mengendalikan diri saya untuk bersikap normal dan se-ma-nis mungkin di depan orang-orang yang sangat murah perhatiannya untuk diberikan kepada saya.
Ya Allah,
saya tidak bisa terus-terusan membohongi diri saya, bahwa saya tidak suka ini dan itu. bahwa sabar itu mudah.bahwa menepati janji itu mudah. bahwa menjadi yang diinginkan-Nya itu mudah.
tapi, mengapa? apakah saya terlalu rapuh untuk berucap jujur pada diri sendiri?
namun, satu pemberian yang membuat saya terus bersyukur, ialah bahwa saya diberi kemampuan untuk tersenyum, senyuman yang seakan menggantikan persepsi orang saat melihat mata saya yang begitu sinis. senyum yang mampu menutupi seluruh kegamangan saya. ternyata, saya cukup kuat di tengah kerapuhan.
bisakah saya memilih manusia yang tepat untuk membicarakan ini? doakan yah.. karena hingga saat ini saya belum menemukannya...
saya terlalu takut untuk mengungkapkan semuanya..semuanya
apa perasaan sang hujan?
sebisa mungkin.. saya berusaha untuk tidak membuat sarang laba-laba di blog kesayangan ini lebih banyak lagi..
karena itu.. mari kita mulai dengan merenungkan perasaan sang hujan..
sesekali saya tertegun melihat rintik-rintik yang jatuh satu per satu menimpa atap rumah saya.. semakin lama semakin deras..
kondisi yang sama. respon yang berbeda.
saya melihat berbagai status bbm, fb, twitter seketika kompak mengeluhkan fenomena ini.
saya sendiri tak memungkiri diri saya sering lancang terhadap sang hujan..
seenaknya menyalahkan..
tapi apakah pernah terbertik dalam pikiran kita apa yang dirasakan sang hujan akan makian kita, keluhan kita, dan umpatan-umpatan yang lainnya?
saya tersadar ketika mencoba "menjadi" hujan itu..
yang dengan tulus ikhlas melaksanakan perintahNya.. namun yang diterima hanyalah umpan balik cacian.
tentu kita akan marah, jengkel.. tetapi sang hujan? betapa tegarnya ia..
tak mampu saya menggoreskan kedahsyatannya, keikhlasan darinya..
bisakah kita..
yang mengemban amanat jauh melebihi tanggung jawab hujan yang tugasnya untuk menyuburkan bumi ini.
sekali lagi, saya mengingatkan kita (terlebih diri saya sendiri) dengan amanat ke"khalifah"an yang diberi kepada kita, manusia.
bisakah kita belajar keikhlasan dari sang hujan untuk tugas kekhalifahan kita? minimal pemimpin yang betul-betul mampu mengendalikan diri sendiri dengan "ikhlas"? tentu bisa, lihatlah hujan.. rasakanlah ketulusannya..
karena itu.. mari kita mulai dengan merenungkan perasaan sang hujan..
sesekali saya tertegun melihat rintik-rintik yang jatuh satu per satu menimpa atap rumah saya.. semakin lama semakin deras..
kondisi yang sama. respon yang berbeda.
saya melihat berbagai status bbm, fb, twitter seketika kompak mengeluhkan fenomena ini.
saya sendiri tak memungkiri diri saya sering lancang terhadap sang hujan..
seenaknya menyalahkan..
tapi apakah pernah terbertik dalam pikiran kita apa yang dirasakan sang hujan akan makian kita, keluhan kita, dan umpatan-umpatan yang lainnya?
saya tersadar ketika mencoba "menjadi" hujan itu..
yang dengan tulus ikhlas melaksanakan perintahNya.. namun yang diterima hanyalah umpan balik cacian.
tentu kita akan marah, jengkel.. tetapi sang hujan? betapa tegarnya ia..
tak mampu saya menggoreskan kedahsyatannya, keikhlasan darinya..
bisakah kita..
yang mengemban amanat jauh melebihi tanggung jawab hujan yang tugasnya untuk menyuburkan bumi ini.
sekali lagi, saya mengingatkan kita (terlebih diri saya sendiri) dengan amanat ke"khalifah"an yang diberi kepada kita, manusia.
bisakah kita belajar keikhlasan dari sang hujan untuk tugas kekhalifahan kita? minimal pemimpin yang betul-betul mampu mengendalikan diri sendiri dengan "ikhlas"? tentu bisa, lihatlah hujan.. rasakanlah ketulusannya..
Subscribe to:
Posts (Atom)